IDNFinancials.com - WASHINGTON - Laporan terbaru dari Departemen Keuangan AS per Maret 2025 mencatat bahwa Inggris telah melampaui China sebagai pemegang surat utang pemerintah Amerika Serikat (U.S. Treasuries) terbesar kedua di dunia, dengan total kepemilikan mencapai US$779,3 miliar.
Sementara itu, China kini berada di posisi ketiga dengan US$765,4 miliar. Jepang masih bertahan di posisi pertama dengan kepemilikan senilai US$1,13 triliun, sepeerti dilansir tfiglobalnews.com, Kamis (22/5).
Pergeseran ini menandai momen penting dalam lanskap keuangan global. Terakhir kali Inggris menduduki posisi lebih tinggi dari China dalam kepemilikan utang AS terjadi pada tahun 2000, lebih dari dua dekade lalu.
Peningkatan kepemilikan ini tidak semata karena surplus perdagangan seperti yang terjadi pada Jepang atau China.
Inggris, khususnya London, berperan sebagai pusat keuangan global. Banyak investor internasional, termasuk perusahaan teknologi AS, perusahaan farmasi, dan dana kekayaan negara, menggunakan lembaga keuangan berbasis di Inggris untuk mengelola modal mereka.
Saat semua lembaga ini membeli surat utang AS atas nama klien mereka, kepemilikannya tercatat sebagai milik Inggris, walau dananya mungkin berasal dari negara lain.
Selain itu, investor domestik Inggris seperti dana pensiun dan perbankan juga beralih ke obligasi pemerintah AS sebagai instrumen investasi yang lebih aman, di tengah ketidakpastian pasar lokal dan volatilitas hasil obligasi Inggris (gilts).
China justru menunjukkan tren sebaliknya. Dari puncaknya yang melebihi US$1,3 triliun pada 2013, kepemilikan China terhadap surat utang AS menurun secara bertahap hingga kini tinggal US$765,4 miliar.
Menurut analis, hal ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang Beijing untuk mendiversifikasi cadangan devisanya. China kini mulai mengalihkan dana ke emas dan obligasi Eropa
Meskipun China sempat membeli lagi US$23,5 miliar surat utang AS pada Februari 2025, kecenderungan umumnya tetap menuju pengurangan bertahap.
Beberapa analis juga mencatat sebagian kepemilikan China mungkin tersembunyi melalui akun kustodian di negara seperti Belgia, yang menyulitkan pelacakan data sebenarnya.
Jepang, pemegang terbesar utang AS, tetap mempertahankan strateginya, menstabilkan yen dan mendukung ekspor dengan mengubah dolar hasil perdagangan menjadi obligasi pemerintah AS.
Dana pensiun dan perusahaan asuransi Jepang juga terus mencari hasil investasi stabil di luar negeri, mengingat imbal hasil obligasi dalam negeri sangat rendah.
Kenaikan kepemilikan obligasi AS oleh Inggris dan penurunan China mencerminkan perubahan peran dalam tatanan keuangan global.
Meskipun permintaan terhadap surat utang AS tetap tinggi, dimana total kepemilikan asing mencetak rekor US$9,05 triliun, komposisi pemegangnya kini mulai bergeser.
Menurut analis yang dikutip U.S. Department of the Treasury, perubahan ini menunjukkan peran meningkat dari lembaga keuangan global dibandingkan aktor negara tradisional.
Penarikan bertahap China juga mencerminkan ketegangan geopolitik dan kekhawatiran atas arah kebijakan fiskal AS, terutama dalam konteks perang dagang dan aliansi global yang berubah.
Perubahan posisi Inggris dan China bukan hanya soal angka, melainkan sinyal pergeseran kekuatan dalam arus modal global.
Di tengah tekanan geopolitik, volatilitas pasar, dan transformasi ekonomi, kepemilikan utang AS akan terus menjadi cerminan dari dinamika politik dan keuangan internasional ke depan. (EF)