IDNFinancials.com - JAKARTA - Amerika Serikat tengah menghadapi tekanan utang nasional yang kini melampaui US$36,2 triliun semakin memicu kekhawatiran para ekonom, lembaga pemeringkat, dan investor global.
Jim Reid dari Deutsche Bank dalam sebuah keterangan tertulis, dilansir Fortune, Rabu (21/5). Sumber foto: Deutsche Bank.
“Kemarin terasa seperti kita sedang berada di suatu titik dalam proses ’kematian karena seribu sayatan’ (death by a thousand cuts) terkait situasi fiskal AS. Sulit untuk mengetahui sudah sampai luka keberapa, tapi mungkin kita sudah jauh lebih dekat ke luka ke-seribu daripada masih di titik nol, meskipun kemarin sempat terjadi aksi jual awal yang kemudian berbalik arah seiring berjalannya sesi perdagangan."
Ungkapan "death by a thousand cuts" yang dikatakan Jim Reid secara idiomatik artinya adalah situasi di mana sesuatu tidak langsung hancur secara drastis, tapi rusak perlahan-lahan karena banyak hal kecil yang menyakitkan atau bermasalah, sampai akhirnya tidak bisa diselamatkan lagi.
Kekhawatiran tersebut, lanjut Jim Reid mencapai puncaknya pekan lalu, ketika Moody’s secara resmi menurunkan peringkat kredit Amerika Serikat dari Aaa menjadi Aa1, dengan alasan penurunan indikator fiskal yang tak lagi mampu diimbangi oleh kekuatan ekonomi dan keuangan negara tersebut.
"Meski penurunan peringkat kredit tertinggi AS pada Jumat malam kemarin tidak langsung menimbulkan dampak besar, hal ini tetap menambah tekanan secara perlahan terhadap kondisi fiskal negara yang sudah rapuh, seperti tetesan air yang terus-menerus mengikis kekuatan bendungan utang." tambahnya.
Moodys dalam pernyataannya menjelaskan kekuatan ekonomi AS kini tidak lagi cukup untuk menutup penurunan metrik fiskal.
Meski Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyarankan pasar untuk tidak terlalu merisaukan penurunan peringkat ini. Namun, banyak analis menilai ini adalah sinyal serius bahwa fondasi fiskal AS mulai rapuh.
Presiden Donald Trump telah menyuarakan keprihatinannya terhadap utang nasional. Namun, kebijakan ekonomi yang dia dorong justru menimbulkan kontroversi.
Salah satunya adalah usulan perpanjangan pemotongan pajak dari kebijakan tahun 2017 yang akan berakhir pada akhir 2025.
Trump juga mengusulkan pemangkasan pajak atas uang tip dan lembur, sembari berharap pendapatan dari program visa “gold card” bisa digunakan untuk membayar utang.
Trump dan kabinetnya berargumen pemotongan pajak akan mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga rasio utang terhadap PDB dapat membaik.
Mereka mengklaim kebijakan ini dapat meningkatkan PDB riil jangka pendek sebesar 3,3%–3,8%, dan jangka panjang sebesar 2,6%–3,2%.
Namun, analisis dari Congressional Budget Office (CBO) berseberangan.
Dalam laporan April 2025, lembaga non-partisan ini memperingatkan jika pemotongan pajak diperpanjang tanpa perubahan kebijakan fiskal lainnya, maka penerimaan negara bisa berkurang dan utang pemerintah dapat melonjak hingga 220% dari PDB pada 2025, atau 63 poin lebih tinggi dibandingkan proyeksi jangka panjang saat ini.
Ketika kepercayaan pasar terhadap kemampuan pembayaran utang AS melemah, satu-satunya harapan ada pada Federal Reserve (The Fed).
Bank sentral kiini juga berpotensi kembali menggunakan strategi quantitative easing, langkah yang dinilai kontroversial, untuk menurunkan suku bunga jangka panjang dan mempermudah pemerintah dalam memperoleh pembiayaan utang baru.
Mark Haefele, Chief Investment Officer dari UBS, dalam catatannya kepada Fortune menilai penurunan peringkat ini lebih bersifat “risiko headline” (berita negatif di media) ketimbang pergeseran fundamental bagi pasar.
Ia menambahkan, “Jika terjadi lonjakan volatilitas yang tidak berkelanjutan, kami memperkirakan The Fed akan turun tangan.” (EF)