Kehadiran teknologi digital dalam dunia perdagangan telah membuka peluang dan tantangan baru, salah satunya adalah munculnya platform e-commerce internasional seperti Temu. Aplikasi asal China ini tengah menjadi perbincangan hangat di Indonesia karena dampak potensialnya terhadap sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Temu, yang sudah tersedia untuk diunduh di App Store dan Google Play Store sejak 7 Oktober 2024, menawarkan model bisnis yang berbeda dengan pemain lokal.
Rumor Akuisisi Bukalapak: Ruang Lingkup dan Dampaknya
Rumor mengenai rencana Temu untuk mengakuisisi Bukalapak menambah kekhawatiran di kalangan pelaku bisnis dan pemerhati ekonomi. Bukalapak, sebagai salah satu pelopor e-commerce di Indonesia, diincar oleh Temu untuk mengoptimalkan cakupan pasar mereka di Indonesia. Para analis, termasuk Christopher Rusli dari Mirae Asset Sekuritas kepada Bisnis.com mengungkapkan bahwa jika langkah ini dapat dilihat sebagai strategi Temu untuk memperkuat pijakan di pasar lokal dengan memanfaatkan jaringan luas Bukalapak, terutama di wilayah Tier 2 yang selama ini kurang tereksplorasi.
Di sisi lain, Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menyampaikan bahwa model operasi Temu yang menghubungkan konsumen langsung dengan produsen di China dapat merusak ekosistem bisnis lokal. Kekhawatiran ini semakin relevan mengingat potensi harga murah yang signifikan yang ditawarkan oleh Temu akibat hilangnya perantara seperti reseller dan dropshipper.
Konsep Tanpa Perantara: Peluang Efisiensi atau Ancaman Nyata?
Temu menonjol dengan model penjualan "factory-to-consumer" yang memungkinkan barang sampai ke tangan konsumen dengan harga lebih rendah. Meskipun dari perspektif konsumen hal ini menguntungkan, para pelaku UMKM melihat ini sebagai ancaman eksistensial. Menteri Kominfo, Budi Arie, hingga Menteri UKM, Teten Masduki, menolak keras pendekatan ini karena berpotensi menggulung UMKM yang tidak bisa bersaing secara harga.
Keprihatinan tersebut bukan tanpa alasan. Direktur Utama Smesco Indonesia, Wientor Rah Mada, mengatakan bahwa Temu dapat mengancam keberlanjutan UMKM di Indonesia. "Aplikasi ini berpotensi merusak pasar lokal, terutama ketika mereka pernah menawarkan produk dengan harga nol persen di pasar AS, yang artinya konsumen hanya membayar ongkos kirim. Ini benar-benar mengancam UMKM kita," ungkap Wientor dalam sebuah diskusi media di kantor Kemenkop UKM.
Permasalahan Hukum dan Regulasi
Pemerintah Indonesia, melalui berbagai lembaga, telah menyuarakan penolakan terhadap model bisnis Temu. Temu harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023, agar legalitas operasionalnya diakui di Indonesia. Menurut Moga Simatupang, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, temuan harga barang lintas negara yang terlampau murah bisa menjadi kendala dalam mendapatkan izin.
Selain itu, upaya Temu untuk mendaftarkan merek dagang di Indonesia telah menghadapi berbagai penolakan. Sejak mengajukan pendaftaran pada September 2022, Temu masih sulit mendapatkan persetujuan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, karena adanya perusahaan lokal yang telah lebih dulu menggunakan nama yang sama. Meski demikian, Temu tidak menyerah dan terus mengajukan banding serta menyesuaikan strategi hukumnya.
Koordinasi Antar-Kementerian dan Strategi Perlindungan UMKM
Kehadiran Temu di platform digital Indonesia mendorong berbagai kementerian, termasuk Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), untuk mengambil langkah-langkah preventif. Fiki Satari, Staf Khusus Menteri Kemenkop UKM, menegaskan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengatasi ancaman terhadap pelaku usaha lokal. Hal ini sejalan dengan upaya mereka untuk melakukan take down terhadap aplikasi Temu yang sudah dapat diunduh di Indonesia.
Menurut Temmy Satya Permana dari Kemenkop UKM, "Potensi Temu sangat besar, dan bisa berbahaya bukan hanya bagi UMKM tetapi bahkan juga industri lokal yang lebih besar, jika barang dari pabrik China bebas masuk dan mengganggu persaingan di pasar lokal."
Sampai saat ini, pemerintah terus memantau perkembangan dan mencoba memastikan bahwa aturan perdagangan elektronik dijalankan dengan ketat untuk melindungi kepentingan pelaku usaha domestik. Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana menghadapi era digitalisasi yang semakin kompleks dengan tetap mempertahankan kekuatan ekonomi lokalnya.