CHEK Alami Oversubscribed hingga 274 kali Saat IPO
Mengukur nilai intrinsik suatu saham dan mengambil kesimpulan “murah” (undervalued) atau “mahal” (overvalued), adalah hal yang semakin umum dilakukan belakangan ini. Banyak ulasan tentang saham menilai suatu saham murah atau mahal berdasarkan kedua metriks ini: PBV dan P/E atau PER.
Kita perlu hati-hati terhadap latah ini.
Menggunakan kedua metriks ini untuk menemukan saham “murah”, sama seperti mencari pasangan hidup hanya dengan satu kriteria: “belum pernah melakukan tindakan kriminal”. Kebayang kan maksud saya? Apa iya kita mencari pasangan hidup hanya dengan satu kriteria tersebut? Pasti kan ada banyak kriteria lainnya baik yang sifatnya mendasar seperti bibit bebet bobot, maupun yang lebih spesifik seperti kecocokan hobi, dan lain sebagainya.
Demikian juga dengan pemilihan saham. Contoh sederhana, jika Anda melihat IHSG saat ini, ada begitu banyak saham-saham yang undervalued. Jika Anda hanya menggunakan kedua metriks tersebut untuk menilai saham, Anda akan mudah sekali terjebak value trap: sahamnya memang murah, tapi harganya tidak naik dalam waktu lama, bahkan ketika indeks benchmark sudah merayap naik.
Nah, saya mau membahas beberapa keterbatasan umum dari kedua metriks ini yang berlaku untuk semua sektor industri, untuk sekedar membuktikan bahwa kedua metriks ini memang sangat terbatas.
Sebelumnya mari kita segarkan kembali ingatan kita:
> Price-to-Earnings Ratio (P/E Ratio): adalah pembanding harga saham dengan laba bersih per saham (EPS) yang dihasilkan perusahaan. Intinya, P/E (PER) memberi gambaran berapa rupiah yang rela dibayar investor untuk setiap satu rupiah laba yang dihasilkan perusahaan. P/E rendah sering diartikan sebagai "murah".
> Price-to-Book Value Ratio (PBV atau P/B Ratio): adalah pembanding harga saham dengan nilai buku per saham. Nilai buku adalah total aset dikurangi total liabilitas. PBV di bawah 1 secara teori berarti kita bisa membeli perusahaan dengan harga lebih murah dari nilai aset bersihnya jika perusahaan tersebut dilikuidasi hari ini.
Meski kedua metriks ini seringkali jadi pintu gerbang analisis fundamental, tapi terdapat keterbatasan umum yang berlaku untuk semua sektor industri.
P/E ratio, misalnya, sama sekali tidak memperhitungkan tingkat utang perusahaan. Dua perusahaan bisa saja punya P/E yang sama, tapi yang satu memiliki utang sangat besar sementara yang lainnya tidak, tentu risikonya berbeda. Selain itu, P/E juga tidak melihat kualitas aset atau potensi pertumbuhan masa depan perusahaan.
Di sisi lain, PBV memiliki kelemahan karena mengabaikan aset tak berwujud (intangible assets) yang seringkali menjadi kekuatan utama perusahaan modern, seperti kekuatan merek (misalnya di industri barang konsumsi), hak paten, atau teknologi. Nilai buku juga berbasis biaya historis, bukan nilai pasar aset saat ini, sehingga bisa jadi tidak relevan lagi.
Nah, kelemahan-kelemahan umum ini menjadi jauh lebih signifikan dan berbahaya ketika kita terapkan pada industri dengan karakteristik unik (padahal bisa dibilang hampir semua industri punya keunikannya sendiri). Untuk keperluan artikel, kali ini saya akan bahas sektor pertambangan.
Studi Kasus Fiksi untuk Ilustrasi: Jebakan di PT Bara Fiktif Jaya
Mari kita lihat bagaimana keterbatasan ini menjadi ekstrem pada sebuah perusahaan tambang batu bara fiktif bernama PT Bara Jaya Perkasa (KODE: BARA). Suatu hari, Anda melihat data keuangannya:
- Harga Saham: Rp 2.000 per lembar
- Laba Bersih per Saham (EPS): Rp 500
- Nilai Buku per Saham (BVPS): Rp 2.500
Dari data ini, kita mendapatkan valuasi yang terlihat sangat menarik:
> P/E Ratio: Rp 2.000 / Rp 500 = 4x (Sangat rendah!)
> PBV Ratio: Rp 2.000 / Rp 2.500 = 0.8x (Di bawah 1, terlihat murah!)
Secara spontan, banyak investor akan langsung menyimpulkan bahwa saham BARA ini undervalued. Lalu, bermodalkan katalis berupa konflik geopolitik global dan harga batubara yang rebound dari level April lalu, maka para investor memutuskan untuk membeli saham ini. Namun, inilah awal dari potensi jebakan. Mengapa? Mari bahas lebih lanjut.
Keterbatasan Fatal P/E dan PBV di Sektor Tambang
Sifat unik dari industri pertambangan membuat kedua metrik ini memiliki kelemahan yang fatal.
1. Siklus Harga Komoditas yang Ekstrem
Ini adalah faktor paling krusial. Pendapatan dan laba perusahaan tambang sangat bergantung pada harga komoditas global (batu bara, nikel, emas, tembaga, dll.) yang sangat fluktuatif.
Ilusi P/E Rendah: P/E Ratio BARA yang hanya 4x bisa jadi karena saat itu harga batu bara sedang berada di puncak siklusnya. Laba perusahaan melonjak drastis, membuat P/E-nya terlihat kecil. Ketika harga batu bara kembali normal atau anjlok, laba BARA akan ikut terjun bebas. Tiba-tiba, P/E yang tadinya 4x bisa melonjak menjadi 30x atau bahkan negatif (karena rugi), dan investor yang terlanjur membeli di harga Rp 2.000 akan merugi. Sebaliknya, saat harga komoditas di titik terendah, P/E saham tambang bisa sangat tinggi, padahal itu mungkin saat terbaik untuk mulai meliriknya.
2. "Nilai Buku" yang Tidak Mencerminkan Nilai Ekonomi Sebenarnya
Aset utama perusahaan tambang adalah cadangan mineral di dalam tanah. Cara pencatatan aset ini di laporan keuangan bisa sangat menyesatkan.
Ilusi PBV Rendah: Nilai buku (Book Value) tambang BARA seringkali didasarkan pada biaya historis saat mengakuisisi dan mengembangkan lahan tambang tersebut. Angka ini sama sekali tidak mencerminkan nilai ekonomi riil dari cadangan batu bara yang dimilikinya. Jika harga batu bara naik tiga kali lipat, nilai cadangan di perut bumi mungkin sudah jauh melampaui nilai buku yang tercatat. PBV 0.8x milik BARA mungkin terlihat murah, padahal bisa jadi kualitas cadangannya rendah atau biaya ekstraksinya sangat tinggi, sehingga nilai ekonominya tidak sepadan.
3. Beban Non-Tunai yang Besar (Depresiasi)
Industri tambang sangat padat modal. Investasi awal untuk alat berat dan infrastruktur sangat besar.
Laba yang Terdistorsi: Investasi besar ini menghasilkan beban depresiasi (penyusutan) yang sangat tinggi di laporan laba rugi. Beban ini mengurangi laba bersih secara akuntansi, meskipun tidak ada uang tunai yang benar-benar keluar. Akibatnya, Laba Bersih ("E" pada P/E) seringkali jauh lebih rendah dari arus kas operasional yang sebenarnya dihasilkan perusahaan.
4. Aset yang Terus Berkurang (Depletion)
Tambang adalah sumber daya yang tidak dapat diperbarui. Setiap ton komoditas yang digali akan mengurangi aset perusahaan secara permanen.
Gambaran yang Tidak Lengkap: P/E dan PBV tidak memperhitungkan sisa umur tambang. BARA bisa saja memiliki P/E dan PBV rendah hari ini, namun ternyata cadangan tambangnya hanya tersisa untuk tiga tahun lagi. Setelah itu, perusahaan harus mencari tambang baru yang biayanya tidak sedikit.
Dengan berbagai kelemahan dan keterbatasan ini, metriks PER (P/E) dan PBV hanya dapat digunakan untuk 1 keperluan saja: membuat watchlist. Tidak lebih.
Jadi, Apa Metrik yang Lebih Baik?
Mengingat kelemahan di atas, para analis menggunakan beberapa metrik yang lebih relevan untuk sektor tambang, salah satu diantaranya yang paling sederhana adalah:
EV/EBITDA (Enterprise Value to EBITDA)
Metriks ini seringkali dianggap lebih menyeluruh dari P/E (PER).
- Enterprise Value (EV): Mengukur total nilai perusahaan (utang + ekuitas), memberikan gambaran yang lebih utuh.
- EBITDA: Laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi. Metrik ini mengabaikan beban non-tunai seperti depresiasi, sehingga lebih mendekati proksi arus kas operasional perusahaan.
Penggunaan EV/EBITDA bisa untuk analisis lebih dalam, khususnya sektor pertambangan.
Untungnya, InvestingPro sudah menggunakan EV/EBITDA sebagai salah satu dari banyak metriks yang digunakan untuk menemukan nilai intrinsik saham. Berikut screenshot dari halaman InvestingPro untuk saham ITMG:
Bisa dilihat pada highlight berwarna kuning bahwa EV/EBITDA merupakan salah satu komponen dari 12 metriks komponen pembentuk InvestingPro Fair Value. Dampaknya adalah estimasi Fair Value dari InvestingPro meminimalisir potensi bias.
Dengan demikian, Anda juga akan lebih terlindungi dari potensi terjebak value trap.
Di InvestingPro, formulasi Fair Value juga tersedia secara instan untuk seluruh saham baik IHSG maupun saham global seperti saham AS, bahkan juga saham-saham Eropa.
Dapatkan Fair Value InvestingPro bersama dengan berbagai manfaat lainnya seperti AI Warren, ProPicks, dan berbagai fitur-fitur lainnya untuk memperkuat investasi Anda.
Jika investasi Anda sudah mulai serius dan nilai porto Anda sudah merayap naik di atas 20jt, 30jt, dan seterusnya, maka menggunakan tools seperti InvestingPro sangat penting untuk menghindari kerugian.
Karena, investasi bukan hanya soal berapa banyak return yang kita dapatkan, tapi juga berapa banyak loss (dan saham stagnan) yang bisa kita hindari.
Berlangganan InvestingPro di sini.